Senin, 16 Juli 2012

Sudah Saatnya Energi Terbarukan

(Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Opini Harian Fajar Makassar)




Dalam buku berjudul “Catatan Seorang Demonstran” yang tak lain adalah catatan harian Soe Hok Gie terdapat adegan unik antara seorang demonstran dan supir mikrobus yang sedang melintasi barisan demonstran (24/1/1966). Ketika salah seorang demonstran meminta supir agar mengantar para demonstran, sang supir menolak. Lalu demonstran tadi bertanya pada sang supir.

       “Apakah saudara bangsa Indonesia?”
       “Ya.” jawab sang supir.
       “Apakah saudara setuju jika harga bensin turun ?”
       “Ya.”
       “Kalau begitu antarkan kami karena kami sedang berjuang untuk itu.”

            Itulah potret masa lalu negeri ini. Potret yang selalu saja sama. Harga bensin seringkali naik, jarang sekali turun. Bahkan sejak tahun 1967 hingga tahun 2008 pemerintah telah menaikkan harga BBM sebanyak 28 kali. Dan hanya empat kali menurunkan harga.

            Masalahnya tentu karena harga BBM yang terlampau tinggi di pasaran dunia ditambah lagi banyaknya konsumen BBM di negeri ini. Maklum, BBM merupakan kebutuhan yang sangat esensil bagi masyarakat. Sehingga solusinya adalah menaikkan harga di dalam naegeri. Pun demikian yang terjadi dengan bensin Premium sekarang ini

Menteri ESDM Jero Wacik membeberkan bahwa harga Premium terlalu mahal dan sebagian harus diimpor. Untuk 1 liter premium harganya Rp. 8.200, berarti negara harus mensubsidi Rp. 3.700 per liternya agar sampai di tangan masyarakat sebesar Rp. 4.500. Maka Pemerintah pun kemungkinan besar memilih opsi klasik yakni menaikkan harga bensin beroktan rendah ini guna menanggulangi masalah ini. Kendati demikian sebenarnya ada beberapa opsi lain dapat dipilih oleh pemerintah.

Salah satu opsi yang digadang-gadang cocok adalah beralih pada bahan bakar gas (BBG) mengingat Indonesia kaya akan sumber daya gas. Namun ada beberapa kendala dengan opsi ini. Pertama setiap kendaraan tentu butuh alat berupa converter yang harganya juga tentu tak murah, selain itu alatnya pun harus impor. Kendala kedua tentu tidak semua masyarakat akan mau menggunakan BBG mengingat maraknya ledakan tabung gas membuat masyarakat trauma.


Opsi Pertamax

        Kebanyakan konsumen mungkin akan lebih memilih bensin Premium dibanding Pertamax. Hal ini dikarenakan Premium lebih murah yakni untuk Premium nonsubsidi Rp. 8.000 per liter sedang Pertamax seharga Rp 8.500 per liternya. 

            Alasan lain mengapa Pertamax kurang dilirik adalah masih banyak konsumen yang bermobil pribadi yang seharusnya menggunakan Premium nonsubsidi justru menggunakan Premium subsisdi karena harganya jauh lebih murah. Fenomena lumrah di negeri ini.

            Namun tak semua masyarakat mengetahui kelebihan Pertamax. Jenis bensin yang berkode RON (Randon Otcane Number) 92 dan 95 ini mengandung bahan oktan yang lebih tinggi dibanding bensin Premium sehingga pembakaran menggunakan Pertamax akan jauh lebih sempurna dibanding bensin Premium.

           Selain dari segi pembakaran yang sempurna, Pertamax juga ramah lingkungan sehingga jaub lebih aman digunakan dan tingkat kerusakan alam yang ditimbulkannya lebih minim. Tak hanya itu, Pertamax juga telah memenuhi standar  International World Wide Fuel Charter (WWFC) dan cocok untuk kendaraan berteknologi mutakhir.

            Jadi dengan sosialisasi yang baik mengenai kelebihan Pertamax kemungkinan besar akan membantu mengompres penggunaan Premium, baik yang nonsubsidi terlebih Premium subsidi yang salah sasaran. Selain itu, opsi menaikkan harga premium tentu tak lagi menjadi solusi yang memberatkan rakyat kecil.


BBM Alternatif

            Selain opsi Pertamax sebenarnya ada opsi lain yang cukup menguntungkan dan jauh lebih ramah lingkungan. Opsinya adalah pemanfaatan bahan bakar  alternatif yang kini telah berkembang tak terkecuali di Indonesia. Walaupun belum terlalu akrab bagi sebagian masyarakat, namun bahan bakar alternatif  dapat dilakukan dengan skala rumah tangga. 

            Bahan bakar alternatif yang dapat dikembangkan di Indonesia cukup banyak. Salah satunya ialah pengolahan CPO (Crude Palm Oil) yang berasal dari kelapa sawit menjadi biodiesel. Mengingat Indonesia adalah negara penghasil CPO terbesar, tentu peluang bahan bakar alternatif ini terbuka lebar. 

            Tak hanya CPO, jerami pun dapat menjadi bahan bakar alternatif. Di Cina jerami sudah dapat diubah menjadi bahan bakar alternatif. Walaupun prosesnya terbilang tidak mudah, namun dengan komitmen yang jelas dari pemerintah dan didukung dengan teknologi yang memadai bukan tak mungkin untuk mewujudkannya mengingat setiap tahunnya banyak jerami yang justru tak dimanfaatkan di negeri ini.

            Selain  CPO dan jerami, baru-baru ini ada pembuatan bahan bakar alternatif dari sampah plastik yang dikembangkan oleh siswa SMK di Madiun. Denga proses yang tak terlalu rumit, bahan bakar alternatif  ini hampir setara dengan Premium produksi PT. Pertamina. Untuk menghasilkan satu liter bahan bakar diperlukan satu kilogram  plastik bekas yang bersih. Tentu kita akan meraup keuntungan ganda, selain mengatasi pelonjakan harga Premium juga dapat mengatasi persoalan sampah plastik yang sulit terurai. Win win solution. Hanya saja permasalahannya adalah apakah pemerintah mau mendukung atau tidak sebab untuk memproduksi secara massal pasti butuh dukungan yang berarti dari pemerintah. Bagaimana Indonesia ? Naik harga atau opsi lain ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar