Dalam buku berjudul “Catatan
Seorang Demonstran” yang tak lain adalah catatan harian Soe Hok Gie terdapat adegan
unik antara seorang demonstran dan supir mikrobus yang sedang melintasi barisan
demonstran (24/1/1966). Ketika salah seorang demonstran meminta supir agar
mengantar para demonstran, sang supir menolak. Lalu demonstran tadi bertanya
pada sang supir.
“Apakah saudara bangsa Indonesia?”
“Ya.” jawab sang supir.
“Apakah saudara setuju jika harga bensin
turun ?”
“Ya.”
“Kalau begitu antarkan kami karena kami
sedang berjuang untuk itu.”
Itulah potret masa lalu negeri ini.
Potret yang selalu saja sama. Harga bensin seringkali naik, jarang sekali turun.
Bahkan sejak tahun 1967 hingga tahun 2008 pemerintah telah menaikkan harga BBM
sebanyak 28 kali. Dan hanya empat kali menurunkan harga.
Masalahnya tentu karena harga BBM
yang terlampau tinggi di pasaran dunia ditambah lagi banyaknya konsumen BBM di
negeri ini. Maklum, BBM merupakan kebutuhan yang sangat esensil bagi
masyarakat. Sehingga solusinya adalah menaikkan harga di dalam naegeri. Pun
demikian yang terjadi dengan bensin Premium sekarang ini
Menteri
ESDM Jero Wacik membeberkan bahwa harga Premium terlalu mahal dan sebagian
harus diimpor. Untuk 1 liter premium harganya Rp. 8.200, berarti negara harus
mensubsidi Rp. 3.700 per liternya agar sampai di tangan masyarakat sebesar Rp.
4.500. Maka Pemerintah pun kemungkinan besar memilih opsi klasik yakni
menaikkan harga bensin beroktan rendah ini guna menanggulangi masalah ini.
Kendati demikian sebenarnya ada beberapa opsi lain dapat dipilih oleh
pemerintah.
Salah
satu opsi yang digadang-gadang cocok adalah beralih pada bahan bakar gas (BBG)
mengingat Indonesia kaya akan sumber daya gas. Namun ada beberapa kendala
dengan opsi ini. Pertama setiap kendaraan tentu butuh alat berupa converter yang harganya juga tentu tak
murah, selain itu alatnya pun harus impor. Kendala kedua tentu tidak semua
masyarakat akan mau menggunakan BBG mengingat maraknya ledakan tabung gas membuat
masyarakat trauma.
Opsi Pertamax
Kebanyakan konsumen mungkin akan lebih
memilih bensin Premium dibanding Pertamax. Hal ini dikarenakan Premium lebih
murah yakni untuk Premium nonsubsidi Rp. 8.000 per liter sedang Pertamax
seharga Rp 8.500 per liternya.
Alasan lain mengapa Pertamax kurang
dilirik adalah masih banyak konsumen yang bermobil pribadi yang seharusnya
menggunakan Premium nonsubsidi justru menggunakan Premium subsisdi karena harganya
jauh lebih murah. Fenomena lumrah di negeri ini.
Namun tak semua masyarakat
mengetahui kelebihan Pertamax. Jenis bensin yang berkode RON (Randon Otcane Number) 92 dan 95 ini
mengandung bahan oktan yang lebih tinggi dibanding bensin Premium sehingga
pembakaran menggunakan Pertamax akan jauh lebih sempurna dibanding bensin
Premium.
Selain
dari segi pembakaran yang sempurna, Pertamax juga ramah lingkungan sehingga
jaub lebih aman digunakan dan tingkat kerusakan alam yang ditimbulkannya lebih
minim. Tak hanya itu, Pertamax juga telah memenuhi standar International World Wide Fuel Charter (WWFC) dan cocok untuk
kendaraan berteknologi mutakhir.
Jadi dengan sosialisasi yang baik
mengenai kelebihan Pertamax kemungkinan besar akan membantu mengompres
penggunaan Premium, baik yang nonsubsidi terlebih Premium subsidi yang salah
sasaran. Selain itu, opsi menaikkan harga premium tentu tak lagi menjadi solusi
yang memberatkan rakyat kecil.
BBM Alternatif
Selain opsi Pertamax sebenarnya ada
opsi lain yang cukup menguntungkan dan jauh lebih ramah lingkungan. Opsinya
adalah pemanfaatan bahan bakar
alternatif yang kini telah berkembang tak terkecuali di Indonesia.
Walaupun belum terlalu akrab bagi sebagian masyarakat, namun bahan bakar
alternatif dapat dilakukan dengan skala
rumah tangga.
Bahan bakar alternatif yang dapat
dikembangkan di Indonesia cukup banyak. Salah satunya ialah pengolahan CPO
(Crude Palm Oil) yang berasal dari kelapa sawit menjadi biodiesel. Mengingat
Indonesia adalah negara penghasil CPO terbesar, tentu peluang bahan bakar
alternatif ini terbuka lebar.
Tak hanya CPO, jerami pun dapat
menjadi bahan bakar alternatif. Di Cina jerami sudah dapat diubah menjadi bahan
bakar alternatif. Walaupun prosesnya terbilang tidak mudah, namun dengan
komitmen yang jelas dari pemerintah dan didukung dengan teknologi yang memadai
bukan tak mungkin untuk mewujudkannya mengingat setiap tahunnya banyak jerami
yang justru tak dimanfaatkan di negeri ini.
Selain CPO dan jerami, baru-baru ini ada pembuatan
bahan bakar alternatif dari sampah plastik yang dikembangkan oleh siswa SMK di
Madiun. Denga proses yang tak terlalu rumit, bahan bakar alternatif ini hampir setara dengan Premium produksi PT.
Pertamina. Untuk menghasilkan satu liter bahan bakar diperlukan satu
kilogram plastik bekas yang bersih.
Tentu kita akan meraup keuntungan ganda, selain mengatasi pelonjakan harga
Premium juga dapat mengatasi persoalan sampah plastik yang sulit terurai. Win win solution. Hanya saja permasalahannya adalah apakah pemerintah mau mendukung atau
tidak sebab untuk memproduksi secara massal pasti butuh dukungan yang berarti
dari pemerintah. Bagaimana Indonesia ? Naik harga atau opsi lain ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar