Tepat pada tanggal 23 November 2011 lalu Wali
Kota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin menerima penghargaan atas terpilihnya
Makssar sebagai kota dengan udara terbersih se-Asia Tenggara di Bali. Tentu
penghargaan ini menjadi kebanggaan tersediri untuk Kota Daeng, mampu
menyisihkan ribuan kota di Asie Tenggara. Namun, dibalik terpilihnya Kota
Makssar sebagai kota dengan udara terbersih se-Asia Tenggara ternyata ada hal
yang masih mengganjal.
Ternyata Kota Makassar minim Ruang Terbuka
Hijau (RTH). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Hasanuddin,
RTH Kota Makassar kian tahun kian menurun. Bahkan menurut hasil studi JICA (Japan International Cooperation Agency)
mengungkap kalau kawasan RTH hanya tiga persen dari luas Kota Makassar, jauh
dari angka ideal yang disyaratkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang, yakni 30
%. Tentu kondisi ini sangat mengancam atau bahkan paradoksial dengan status
Makassar sebagai kota dengan udara terbersih se-Asia Tenggara. Sebab kualitas
udara tentu berbanding lurus dengan jumlah RTH. Apa lagi kondisi akumulasi
kendaraan di Kota Makassar kian hari kian melonjak.
Mempertahankan gelar sebagai kota
dengan udara terbersih sebenarnya bukalah tujan utama namun lebih kepada
kenyamanan dan kesehatan warga Kota Makassar. Sebab gelar hanyalah simbolis
yang hanya terasa secara prestise semata sedang manfaat yang ditumbulkan jauh
lebih penting.
Cabut Paku
Banyak hal yang memengaruhi
menurunnya RTH di Kota Makassar. Selain karena arah kebijakan Pemkot yang
terpusat pada pertumbuhan perekonomian dan memarginalkan kebijakan ke arah
lingkungan. Ternyata masyarakat –termasuk pemerintah- juga ikut memperburuk
situasi dengan tidak menjaga dan merawat pohon yang ada di Kota Makassar.
Coba tengok sesekali barisan pohon
peneduh disepanjang ruas jalan di Makassar. Tak jarang terlihat tempelan-tempelan
yang tak seharusnya ada di batang pohon. Mulai dari iklan promosi WC buntu hingga
famplet wajah-wajah pemerintah. Tentu tempelan ini menggunakan paku yang notabenenya
akan merusak pohon. Fenomena ini terlihat di beberapa jalan besar di Kota
Makassar.
Penggunaan paku pada batang pohon
akan menyebabkan fisiologis jaringan pada batang pohon terganggu. Sebab paku
yang merupakan bahan logam akan merusak jaringan ataupun sel bahkan
mengakibatkan terjadi nekrosis atau kematian pada sel dan jaringan. Hal ini
akan menyebabkan infeksi pada pohon dan membuat pohon menjadi sakit atau bahkan ranting pohon menjadi mati. Apa lagi
menggunakan paku yang berkarat, dampak yang ditimbulkannya akan lebih buruk
lagi.
Tak hanya itu, jika paku menancap
pada batang pohon berkambium, maka pengeroposan pada batang akan menjadi lebih
cepat. Dampaknya tentu akan memicu tumbangnya pohon. Jika hal ini terjadi, tak
hanya akan menurunkan jumlah RTH namun akan menimbulkan beberapa kerugian lain,
salah satunya menimbulkan korban jiwa serta kerugian secara ekonomi. Namun
perlu dicatat, andai kata pun paku tak merusak pohon tetap saja
tempelan-tempelan tak seharusnya ada sebab tentu tak sedap dipandang.
Seharusnya fenomena paku ini menjadi
perhatian pemerintah, bukan justru ikut menambah paku dengan tempelan-tempelan
kampanye politik. Janganlah pohon yang merupakan penghasil oksigen justru
menjadi alat kampanye liar. Dan seharusnya ada aturan tertulis mengenai ini,
jangan hanya penebangan pohon yang memiliki peraturan.
Prioritas
Kebanyakan masyarakat telah mengetahui bahwa pohon merupakan penghasil
oksigen dan membantu mengurangi polusi. Selain itu, kota sebesar Makassar yang
digadang-gadang akan menjadi kota dunia ini masih sering mengalami banjir.
Dengan pohon yang mmenuhi setiap sudut kota akan mampu mengompres kelebihan air
setiap kali hujan turun sehingga meminimalkan terjadinya banjir.
Namun bagi sebagian masyarakat
–termasuk pemerintah- masih terkesan kurang memprioritaskan penanaman pohon.
Hal ini terlihat dengan seabrek kegiatan penanaman yang bersifat momentum dan
kasuistik. Penanaman dilakukan jika ada moment yang tepat, misalnya pada
perayaan hari bumi dan hari-hari lain yang serupa. Padahal sebatang pohon
memliki manfaat yang kontinu bukan momentum.
Tak hanya itu, pemerintah kota harus
lebih menggambarkan secara jelas konsep penataan RTH. Jangan hanya beberapa
zona saja yang menjadi konseptor RTH, semisal hanya zona kampus dan beberapa
instansi pemerintahan. Namun, adalah lebih ideal jika ada penambahan taman kota
yang dilengkapi dengan pepeohonan. Selain menambah jumlah RTH, fasilitas publik
yang nyaman tentu makin menambah kenyamanan warga Kota Makassar.
Namun sebelum menanam pohon peneduh
ada banyak hal yang patut dipertimbangka. Pertama adalah pemilihan jenis pohon.
Kebanyakan pohon yang sering dijadikan pohon peneduh adalah pohon angsana
karena tipe pohon ini memang pohn yang lebat. Namun di sisi lain pohon dengan
nama latin Pterocarpus
indicus ini termasuk pohon ‘fast grow’ atau pertumbuhannya cepat sehingga usianya agak pendek
dan mudah tumbang.
Selain
faktor usia, yang patut diperhatikan adalah jenis pohon yang jauh lebih banyak
menyerap polusi. Agar polusi Koat Makassar dapat terserap oleh pohon, dan
tentunya akan menambah kenyamanan warga. Banyak jenis pohon yang memiliki
kriteria seperti ini, misalnya pohon Tanjung. Pohon
jenis ini adalah pohon yang direkomendasikan sebagai pohon
lindung perkotaan di hampir seluruh dunia dan umurnya pun relatif panjang,
yakni sekitar 100 tahun. Namun pohon yang berasal dari India ini masih kurang
di kota Makassar.
Pertimbangan
lain yang tak kalah penting dalam memilih pohon peneduh adalah kemampuan
menyerap kebisingan dan air genangan. Mengingat
Kota Makassar merupakan kota yang padat kendaraan serta rawan ancaman banjir,
tentu pohon peneduh yang ditanam harus mampu meredam kebisingan dan menyerap
genangan air. Jenis pohon yang memiliki dua kemampuan tersebut adalah pohon
yang memiliki tajuk tebal dengan daun yang rindang seperti pohon Kiara Payung
termasuk pula pohon Tanjung. Jika
beberapa pertimbangan di atas terpenuhi tentu akan tercipta kota dunia yang
hijau dan nyaman. Hanya saja butuh
komitmen yang jelas serta prioritas dari pemerintah agar hal ini terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar