Pernah saya mendapat
pengalaman dari sepupu yang berumur tujuh tahun. Pengalaman yang berharga,
unik, dan langka atau bahkan telah punah saat ini. Sederhana memang, namun
pengalaman tersebut mengajariku sebuah tindakan sederhana namun sangat mulia
kawan.
Kurang lebih ceritanya seperti ini. Sepulang sekolah,
sering saya melihat kantung celana sekolah sepupuku yang masih berumur tujuh
tahun menggembung. Sepertinya ada benda yang sering ia taruh dalam kantong
celananya itu. Awalnya hal itu tidak manarik sama sekali bagiku. Namun lama-kelamaan
kantung gembungnya itu membuatku penasaran. Benda apa gerangan yang setia
menggembungkan kantung celanannya itu ??? Karena terlalu lama menerka tidak jelas,
akhirnya kucegat ia, dan menanyainya.
“Hikmal !!!” aku menyapa namanya sambil jongkok
dihadapannya agar wajahku tepat berada di depan wajahnya.
“Apa kak?”
“Bagi permennya dong !”
“Permen apa ? Cappu
mi kak ?” jawabnya (Cappu mi
adalah bahasa Mandar1 yang berarti sudah habis)
“Terus, apa yang ada dikantung celanamu ?” tanyaku
selidik.
“Pembungkus permen dan snack kak. Mau pembungkunya ?” tanyanya polos, dan membuatku heran.
“Kenapa ditaruh di dalam kantung celana?” tanyaku lagi.
“Karena tidak ada tempat sampah yang saya lewati waktu
pulang dari sekolah. Dulu Pak guru pernah bilang, kalau tidak ada tempat
sampah, disimpan di kantung celana saja dulu. Nanti kalau ada tempat sampah
baru dibuang,” jawabnya datar.
Dan aku paham. Ia memang
berjalan kaki pulang sekolah sekitar 200 meter. Dan sejauh pengamatanku, jalur
yang ia lalui memang tak ada tempat sampah kecuali tempat sampah liar. Bahkan dia
harus melewati sawah. Tentu di sawah tak ada tempat sampah. Apa lagi ia penggemar
permen seperti anak kebanyakan.
![]() |
Sumber foto: www.jurnalpatrolinews.com
|
Aku kagum dengan
tindakannya itu. Dan semenjak saat itu, saya mengikutinya. Pengalaman itupun
teringat terus sebagai pengalaman “kantung kembung” yang mengagumkan. Namun,
yang membuatku lebih kagum adalah Pak guru yang telah mengajarinya tentang
tindakan itu. Aku ingin sekali bertemu, siapa gerangan guru itu.
Namun belakangan aku
tahu, bahwa guru yang dia maksud adalah yang telah meninggal enam bulan lalu.
Almarhum juga pernah mengajariku sewaktu SD. Beliau memang guru yang cinta
bersih sekaligus sangat senang dengan hijau. Saya teringat bagaimana almarhum
begitu bersemangat menanam pohon di seantero sekolah. Hasilnya, sekolahku yang
juga sekolah sepupuku itu menjadi sangat hijau dan sejuk.
Terbatas
Pelajaran yang diberikan oleh sepupuku, setidaknya
membuat saya sadar akan dua hal. Pertama, lebih mudah menanamkan kebiasaan pada
anak-anak. Kedua, guru benar-benar memiliki pengaruh besar terhadap kebiasaan
seorang murid.
Namun, saat ini jarang saya melihat guru mulai dari guru
TK hingga dosen yang betul-betul memerhatikan mengenai penanaman kebiasaan yang
baik, terutama mengenai kebiasaan peduli terhadap lingkungan. Mengapa saya
berani berkata demikian. Karena saat ini belum jamak guru yang betul-betul
memiliki karakter yang peduli terhadap lingkungan. Meskipun ada, namun sangat
minoritas. Sehingga tak mengherakan jika salah satu SMP di Surabaya yang
baru-baru ini diberitakan mengembangkan sekolah ramah lingkungan hanya di-handle oleh empat guru. Padahal jika kita jeli, tentu kita akan bertanya,
mengapa hanya empat saja ??? Mana guru yang lain ??? Sebuah sekolah tentu
memiliki banyak guru.
Terlepas banyak atau tidak. Tentu kita paham betul, bahwa
Indonesia bahkan dunia membutuhkan insan-insan yang peduli terhadap lingkungan.
Ihwal tersebut dikarenakan masalah lingkungan saat ini betul-betul telah
mengganas. Kurangnya manusia yang peduli terhadap lingkungan menambah buruk
permasalahan lingkungan.
Sejurus dengan hal tersebut, kita tahu betul bahwa
permasalahan lingkungan banyak disebabkan oleh manusia sendiri. Manusia-manusia
yang memusuhi lingkungan karena mengejar keuntungan. Atau manusia yang sebenarnya
tidak berbekal pengetahuan tentang lingkungan sehingga melakukan tindakan
merusak lingkungan. Namun kita harus tahu, terima atau tidak, manusia jaman
sekarang yang tidak menaruh belas kasih terhadap lingkungan adalah produk masa lalu.
Produk masa lalu yang gagal karena tidak dididik menjadi pribadi yang sadar dan peduli
terhadap lingkungan. Kegagalan itu bisa saja disebabkan karena kurang atau bisa
saja belum adanya pendidik di masa lalu yang intens mengajarkan kepedulian
terhadap lingkungan. Atau bisa saja dikarenakan belum ada penjelasan terperinci
mengenai tindakan-tindakan yang dapat merusak lingkungan.
Jadi jika kita memetakan
secara runut, penyebab permasalahan lingkungan saat ini adalah keterbatasan
manusia yang sadar dan peduli terhadap lingkungan serta maraknya tindakan
merusak lingkungan yang didasari ketidaktahuan. Dan kedua hal tersebut, mau
tidak mau diembankan oleh tugas para pendidik. Yakni tugas mengajar dan
mendidik manusia menjadi pribadi yang sadar dan peduli terhadap lingkungan
serta tugas menebarkan pengetahuan tentang lingkungan. Jadi saat ini, kita membutuhkan
pendidik yang bisa mengemban tugas tersebut.
Pendidik Peduli Lingkungan
Sebagai pendidik, baik guru TK, SD, SMP, bahkan dosen
sebenarnya memiliki kesempatan –jika tak mau disebut tugas- untuk mengajarkan
kepedulian terhadap lingkungan. Sebab, perihal lingkungan tidak hanya milik
guru biologi semata, karena lingkungan tidak sebatas biologi atau ilmu alam
lainnya. Lingkungan mencakup bidang yang lebih luas. Mencakup semua sendi kehidupan.
Semisal, bidang ekonomi yang telah mengembangkan konsep green economy, yakni konsep ekonomi yang ramah lingkungan. Atau
disiplin ilmu psikologi dapat mengajarkan mengenai eko etika, yakni etika yang sejalan
dengan ekologi alam. Jadi setiap pendidik baik dari latar belakang pendidikan
apapun memiliki kesempatan untuk menjadi pendidik yang peduli lingkungan (teachers go green).
Banyak hal yang dapat
diajarkan para pendidik yang peduli lingkungan atau teachers go green. Misalnya, mengajarkan untuk membuang sampah pada
tempatnya, menanam pohon, daur ulang, penciptaan produk ramah lingkungan,
energi terbarukan, dan lain-lain. Dan semakin tinggi ranah pendidikan tentu
kemampuan seorang pendidik pun meningkat. Dengan itu, kemampuan dalam
mengajarkan tentang lingkungan pun semakin meningkat pula. Sebut saja guru SMA atau
dosen yang tentu memiliki kapasitas yang lebih tinggi sehingga muatan
pengetahuan lingkungan yang dapat diajarkannya pun menjadi lebih tinggi.
Jadi dengan teachers go green, permasalahan pribadi
peduli lingkungan yang minim serta keterbatasan pengetahuan lingkungan saat ini
sedikit demi sedikit bisa terselesaikan. Meskipun suara pesimistis yang mengatakan
bahwa hal tersebut akan bertabrakan dengan sistem yang terlampau kuat, atau
politik lingkungan yang kotor. Namun,
dengan total guru di Indonesia sebanyak 2,7 juta orang (Ditjen PMPTK 2009) tidaklah mustahil. Dengan
jumlah yang terbilang banyak tersebut, para pendidik dapat mendatangkan dampak yang
cukup besar jika semuanya mengabdikan diri sebagai teachers go
green. Namun yang mesti
digarisbawahi, sebagai pendidik yang mengajarkan kepedulian terhadap lingkungan,
haruslah dimulai dari diri sendiri. Tidaklah berefek apa yang kita sampaikan
jika tak nampak nyata dalam sikap.
Maka
dari itu, mari kita tuntaskan permasalahan lingkungan dengan menjadi teachers go green. Baik yang
telah maupun yang belum menjadi pendidik. Dengan semangat mendidik. Goreskan
tinta sejarah bahwa pendidik mampu menjadi megaaktor dalam menyelamatkan
lingkungan. Jangan sampai pengalaman “kantung kembung” betul-betul punah karena
kurangnya pendidik yang peduli terhadap lingkungan. Mari menjadi pendidik. Pendidik
yang peduli lingkungan. Say no to damaging the
environment, say yes to teachers go green.
Fote note:
1. Mandar adalah salah satu nama suku yang berada di Provinsi
Sulawesi Barat.
Sumber Referensi:
Keren.keren..
BalasHapus